Kultur Jawa

Perkembangan waktu membawa perubahan pola transportasi, dan semakin besarnya jangkauan pola ekonomi. Masyarakat menjadi semakin majemuk, sistem transportasi memungkinkan berbagai barang didistribusikan ke wilayah-wilayah yang lain. Berbagai kelompok masyarakat dari tempat-tempat yang berbeda semakin intensif berinteraksi. Uniknya, keluasan interaksi macam ini pada waktu yang sama justru menurunkan intensitas kedalaman hubungan personal. Semakin banyak mengenal orang, semakin berkurang kemampuan untuk menjalin relasi personal yang bermakna. Seiring dengan itu, spesialisasi dalam produk tidak hanya ditargetkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat lokal saja. Pola relasi menjadi lebih kompleks. Hubungan yang makin luas justru menciptakan kerenggangan. Hubungan antara pembuat barang, distributor dan pemakai barang mengalami reduksi menjadi sekedar transaksional. Dalam situasi penuh impersonalitas (tidak saling kenal) ini, berkembang sistem ekonomi yang lebih mengedepankan keuntungan sebanyak-banyaknya. Itu lah ilustrasi tentang perubahan nilai-nilai kultural dan sosial.




Sikap kritis terhadap pola perubahan nilai sungguh mutlak dibutuhkan, tidak hanya sewaktu kita membaca karya-karya sastra, tetapi juga dalam interaksi sosial hari ini dengan sesama. Cerita heroisme Mahesa Jenar dalam Nagasasra dan Sabuk Inten karya S.H. Mintardja membantu saya untuk menyingkap nilai-nilai keluhuran budaya Jawa di masa lalu, yang dalam batas-batas tertentu justru layak dipersoalkan relevansinya di dalam kehidupan kita sekarang ini. Etnis Jawa yang menjadi mayoritas populasi dalam Republik Indonesia ini sudah selayaknya mampu mengritisi warisan kultural yang tersimpan dalam-dalam di benak (archetype) di dalam otak kita, pola relasi, cara pandang kita terhadap dunia, dan nilai-nilai apa saja yang dinilai baik.
Diceritakan bahwa Mahesa Jenar senantiasa berusaha keras untuk tidak menunjukkan rasa bangga atas perkembangan anak didiknya, Arya Salaka. Dalam berbagai kesempatan, Mahesa Jenar berkata dalam hati, memuji akan kemajuan yang sangat pesat dari anak didiknya ini. Anak muda yang terlunta-lunta akibat konflik politik di bumi kelahiran Banyu Biru menunjukkan kekuatan mental yang luar biasa kuat. Namun, berulang kali pula, Mahesa Jenar memupus keinginannya untuk mengungkapkan rasa bangga itu. Dia tidak akan pernah mau menunjukkan rasa bahagia secara terang-terangan. Sementara, Arya Salaka pun tidak akan kesulitan dalam memahami perasaan gurunya. Dia akan mudah “membaca” apakah sang guru itu sedih, bahagia, atau kecewa. Ungkapan suka atau duka, kecewa atau bahagia, jarang sekali disampaikan dalam kata-kata. Hanya simbol-simbol saja yang terlihat: gerak mata, gerak-gerik tubuh, tatapan mata, dan bahasa tubuh lainnya.
Gambaran model komunikasi minim kata-kata ini bisa jadi hanya rekaan dari S.H. Mintardja saja. Namun, dalam pengamatan saya, penggambaran yang mirip juga ditampilkan oleh para sastrawan beretnis Jawa lainnya. Rm. Mangunwijaya dengan trilogi Gendhuk DukuLusi Lindri-nya, Kresna Langit Hariadi dengan tetralogi Majapahitnya, dan Arswendo Atmowiloto dengan Senopati Pamungkasnya. Tampaknya, pesannya jelas dan sederhana: kultur Jawa sangat kaya akan simbolisasi. Simbolisasi dalam komunikasi tersebut bukan persoalan yang serius, sejauh orang-orang yang terlibat di dalam komunikasi dan interaksi tersebut adalah orang-orang dengan kultur yang sama, usia yang tidak terlalu jauh berbeda, dibesarkan dalam lingkungan yang mirip, dan meyakini serangkaian kebenaran dengan cara yang relatif sama.
Di dalam konteks kultur Jawa, pengungkapan suatu perasaan senang atau susah, bahagia atau kecewa, sejauh mungkin diungkapkan melalui bahasa non-verbal. Orang-orrang dalam tradisi Jawa yang kuat akan sangat hemat kata-kata. Untuk “mengusir” tamu yang tidak segera pulang, cukup dengan “glothakan” (bunyi ribut) dari kegiatan mencuci piring. Penolakan atas suatu permintaan tidak akan terwujud dalam kata “TIDAK, saya tidak bisa”, tetapi justru dalam bahasa probabilitas “ya MUNGKIN bisa, kita lihat nanti.” Semuanya penuh simbolisasi. Bagi kelompok kultural yang lebih mengedepankan keterus-terangan, budaya Jawa yang penuh dengan “plinthat-plinthut” ini sungguh menjengkelkan. Bagi orang Jawa sendiri, keterampilan dalam menjaga harmoni dan menghindarkan diri dari konflik secara langsung merupakan sebuah nilai adiluhung.

*Semoga Bermanfaat*

Respons Anda??? :

Posting Komentar

 
Support By: Kopi Irenk | Banyu Urip Alit | NEON III
Copyright © 2012. Lini Edukasi SMP - MTs - All Rights Reserved
Graphic Edited by V-Sett
Proudly powered by Blogger